Pilpres 2014 membuka mataku terhadap banyak hal..beberapa diantaranya adalah tentang "lover" dan "hater".
Jokowi disebut2 sebagai pribadi yang sederhana, jujur dll dst yang baik2, sementara Prabowo dipersepsikan sebagai penjahat yang menculik aktifis 98, tukang janji palsu, pencitraan dll dst yang jelek2.
Tentu saja respon awal dari kita seharusnya adalah "dukung yang baik" atau setidaknya dukung yang baik daripada 2 yang baik, atau dukung yang tidak lebih jahat dari 2 orang yang "gak selalu baik". Apapun pilihan kita, tentu itu sah-sah saja, bahkan pilihan kita dilindungi undang-undang.
Namun taktik kampanye yang busuk dan permainan media yang entah kepentingan bisnis atau politiknya yang bermain, semua persaingan di pilpres menjadi tidak sehat, tidak wajar, dan diluar kaidah sportifitas-keadilan dan kejujuran.
Jokowi yang memiliki keuntungan "citra yang baik" dibuat seakan jadi "idola baru"...semua pakaiannya, tindak tanduknya, perbuatannya, aksinya bagaikan selebritis yang ditiru2, dibuatkan film, dibuatkan lagu, masuk dalam semua pemberitaan...lambat laun, para pendukungnya jadi bukan sebagai voter yang menggantungkan harapan masa depan bangsa, tapi menjadi sekelompok fans...dan mereka disebut "lovers".
Prabowo, yang memiliki kelemahan "citra yang buruk akibat masa lalunya yang kelam" tiba-tiba menjadi musuh bersama, bahkan seperti musuh negara..pemberitaan media yang cenderung memuat semua yang baik tentang jokowi, dan pemberitaan negatif/buruk tentang prabowo, membuat masyarakat banyak yang tidak bisa melihat Prabowo sebagai manusia biasa yang punya salah tapi iblis..dari sinilah konflik sosial muncul dan berkepanjangan.
Kemenangan Jokowi pada waktu pilpres tidak menyelesaikan konflik sosial...bagaimana mungkin bisa selesai, orang2 yang tidak mendukung jokowi commit untuk mengkritisi kebijakannya yang tidak sesuai dengan janji kampanye-nya, dan yang mendukung commit untuk bela mati2an apapun yang jokowi lakukan. Hasilnya adalah caci maki, sebutan "hater", susah move on dll dst.
Jadi, semua ini salah siapa? Salahnya adalah pada istilah Lover dan Hater....
Mereka yang mendukung Jokowi dihadapkan pada konsep hitam putih, dimana Jokowi harus dibela dan yang tidak mendukung Jokowi SELALU adalah orang yang benci secara personal dan tidak jarang tidak dianggap sebagai "rakyat".
Sementara mereka yang tidak mendukung Jokowi, sedang berusaha untuk menerima Jokowi sebagai presiden baru, tentu saja punya harapan bahwa setidaknya Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya.
Fakta yang terjadi, Jokowi banyak mengingkari janji-janjinya, membuat kebijakan yang buruk, tidak mampu mengawasi dan mengatur para pembantu2nya (ie.Mentri) dan sampai sekarang belum menunjukkan kemampuan keluar dari bayang2 Megawati dan para Senior Politik di belakangnya.
Lalu apakah kalau ada kritik lantas seseorang boleh disebut sebagai hater? sebenarnya tidak pernah ada hater, hater itu adalah lover extreme....mereka mencintai terlalu dalam sehingga ketika orang yang dicintai tidak melakukan apa yang diharapkan, maka mereka jadi kecewa. Tapi sejujurnya, Pemimpin negara itu tidak boleh dijadikan sebagai "idola" dan rakyat tidak boleh menjadi "fans" dari pemimpinnya, mengapa? Karena ketika kita selalu membela mati2an, maka para pemimpin tidak mempunyai barometer bahwa perbuatan mereka sudah keliru..mereka akan jadi diktator, berbuat sesuka hati..toh rakyat akan selalu cinta...lalu rakyat dapat apa? gak dapat apa2.
Jika para hater always hate hate hate...sejujurnya para lover harus bersyukur, karena para hater ini membantu pemimpinnya untuk berada pada jalurnya..namun sayang...namanya juga lover..lover always love love love..sehingga jika ada yang hate pemimpinnya, mereka pun berubah menjadi hater dari para hater orang yang mereka cintai.
Jadi what is lover, what is hater?
lover is hater of hater?:)